Dibalik Pakaian Baru
Puji syukur
hendaknya senantiasa kita panjatkan kepada Allah. Karena berkat rahmatNya, kita
dapat menuntaskan ibadah puasa Ramadhan dan menutupnya dengan zakat fitrah dan
shalat Idul Fitri. Kebahagiaan semakin lengkap dengan kehadiran sanak kerabat
untuk menguatkan ikatan silaturahim. Kebahagiaan itu, pada sebagian besar
orang, ditunjukkan dengan pakaian baru. Seperti halnya pesan Rasulullah saw
pada Umar bin Khatab.
“Kenakanlah
pakaian baru, hiduplah sebagai orang yang terpuji, dan matilah sebagai syahid, semoga
Allah menganugerahkan kepadamu penyejuk mata di dunia dan akhirat.” (HR Ahmad
dan al-Baihaqi)
Islam
menghendaki setiap muslim agar mempresentasikan kemuliaan dan keagungan Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kita untuk mengimplementasikan
nilai – nilai Islam dalam ucapan dan tindakan, diam dan gerak, canda dan
serius, serta sikap dan penampilan kita.
Dalam
konteks inilah Rasulullah memerintahkan Umar bin Khatab agar mengenakan pakaian
yang baru, merealisasikan hidup yang mulia dan terpuji, serta menutup usianya
dengan kemuliaan sebagai syahid. Agar dirinya menjadi pembuka hidayah bagi umat
manusia dan meraih kebahagiaan dunia akhirat.
Ada banyak
hikmah yang terkandung pada pakaian baru yang kita kenakan.
Pertama,
sebagai sarana untuk mengundang cinta Allah
Dengan
mengenakan pakaian baru, kita ingin menunjukkan nikmat dan anugerah Allah
kepada diri kita. Niat inilah yang akan mengundang cinta Allah. Kepada seorang
sahabat yang berpakaian lusuh dan kumuh, sedangkan ia memiliki harta yang melimpah,
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila memberikan suatu nikmat kepada
seorang hamba, maka Dia menyukai apabila nikmat itu terlihat padanya.” (HR
Ahmad)
Ada seorang
sahabat yang berpakaian indah, tapi ia khawatir terjerumus pada kesombongan. Kepadanya
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan.
Kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang lain.” (HR muslim)
Kedua,
sebagai sarana membangun simpati manusia
Rasulullah
berpesan kepada para sahabat yang hendak memasuki kota Madinah seraya bersabda,
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi saudara – saudaramu, maka perbaguslah
kendaraan dan pakaianmu, sehingga kamu menjadi pemanis bagi mereka seperti tahi
lalat menjadi pemanis bagi tubuh kita. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
kotoran dan pola hidup kotor.”(HR Abu Dawud)
Ketiga,
sebagai sarana untuk membebaskan diri dari tipu daya setan
Ibnu Jauzi
berkata, “Aku tidak suka mengenakan pakaian kumuh dan banyak tambalan karena
empat alasan. 1) Hal itu bukan pakaian ulama salafi, karena mereka menambal
pakaian karena kondisi darurat. 2) hal itu mengandung dakwaan bahwa dirinya
adalah orang fakir, apadahal Allah telah memerintahkan kepada seorang muslim
untuk menampakkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. 3) hal itu
menampakkan kezuhudan, padahal kita diperintahkan untuk menyembunyikan
kezuhudan. 4) hal itu termasuk tindakan menyerupai orang – orang yang berpaling
dari syariat, sedang barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia akan menjadi
bagian dari mereka.”
Jadi,
pakaian baru maupun lama, sama –sama memiliki potensi negatif dan positif. Oleh
karena itu, kita harus mampu menghindarkan diri dari efek negatif pakaian yang
kita kenakan dan mengambil hal – hal yang positif dan bermanfaat. Sufyan ats-tsauri
berkata, “Para sahabat dan tabiin membenci dua hal yang menyebabkan
kesombongan. Pertama, pakaian yang bagus yang digunakan untuk mengangkat popularitas
dan menarikperhatian orang – orang. Kedua, pakaian jelek yang mengundang
penghinaan dan penistaan terhadap pemakainya.”
0 Response to "Dibalik Pakaian Baru"
Posting Komentar