Ramadhan, The Real Game
Semakin menurunnya
semangat beribadah dan beramal shalih pasca Ramadhan tidak terlepas dari tiga
persoalan. Pertama, kesalahan paradigma dalam beribadah. Kedua, soal lingkungan
yang tidak kondusif. Dan ketiga, berkaitan dengan hawa nafsu. Demikian pendapat
ustadz Hilman Rosyad, konsultas syariah Partai Keadila Sejahtera.
Kesalahan paradigma
beribadah berawal dari dicanangkannya Ramadhan sebagai bulan latihan, namun
seringkali tanpa dikukuhkan kapan jadwal ‘bertandingnya’ tiba. Bila orang
diminta berlatih namun tidak tahu kapan akan berlaga, tentu dia tidak akan
serius daam berlatih. Itu sebabnya, semakin mendekati akhir Ramadhan,
intensitas beribadah semakin menurun hingga meguap ketika Ramadhan berakhir.
Ada satu bentuk
alternatif dalam mengubah paradigma yang sudah terpola dalam pemikiran banyak
orang selama ini. Ramadhan bukan lagi bulan latihan tapi sebagai bulan the real
game, pertandingan sesungguhnya. Dengan demikina,kita akan merasa dituntut
untuk melatih diri selama sebelas bulan sebelum Ramadhan. Lantas, semua hasil latihan
ini diterapkan pada ‘masa tanding’ di Bulan Ramadhan yang menjanjikan pahala
dan keberkahan yang beripat ganda.
Bila kita berpikir
bahwa Ramadhan sebagai the real game, maka semakin mendekat akhir Ramadhan,
justru kita akan terpacu untuk semakin kuat beribadah dan beramal shalih,
bukannya semakin kendur. Seperti halnya seorang pelari yang akan semakin
mempercepat langkahnya menjelang garis finish.
Bila ini yang terjadi,
kepergian Ramadhan tentuk akan ditangisi, karena keistimewaan itu baru akan
datang setahun kemudian. Dan seharusnya kita selalu khawatir bahwa ibadah Ramadhan yang kita lalui belum
mencapai hasil maksimal. Itu sebabnya Rasulullah dan para sahabat bersedih hati
dengan kepergian Ramadhan. Dengan mengubah paradigma bahwa sebelas bulan
sebelum Ramadhan adalah bulan latihan, Insya Allah kita bisa mantap bertekad
melatih diri lebih baik lagi sejak Syawal untuk persiapan Ramadhan berikutnya.
0 Response to "Ramadhan, The Real Game"
Posting Komentar