PKS GO PKS

Republik “Pornografi”: Dari Tempo hingga KPK

Lima tahun lalu, seorang artis papan atas mengomentari pengesahan UU Pornografi oleh DPR. “Itu sama saja dengan upaya untuk membodohi masyarakat,” kata artis cantik tersebut.

Dengan penuh semangat ia kembali nyerocos.“Saya kasih contoh, sekarang ini Jakarta kan semakin panas, seandainya ada perempuan memakai busana tanktop keluar rumah apa langsung ditangkap? Nah, terus saudara-saudara kita di Papua yang masih memakai koteka bagaimana? Apa ditangkepin juga?”

Padahal, lanjut dia, setiap orang dilahirkan dalam keadaan telanjang dan nafsu setiap orang tidak bisa dibatasi oleh aturan. “Yang pasti aku enggak akan pernah terpengaruh dengan undang-undang itu dan aku enggak mau dibatasi,” kata dia lagi.

Dua tahun setelah ia menentang UU Pornografi tersebut, ia dihadapkan dengan kasus pornografi yang melibatkan dirinya. Artis yang bernama Luna Maya itu dikagetkan dengan tayangan video mesum yang mirip dirinya dan Ariel, di internet. Dan hari ini, substansi ponografi tak cuma dilakukan Luna dan Ariel. Tapi juga sudah merembet ke awak jurnalisme (Tempo, dll), KPK hingga Densus 88.

Dalam UU Pornografi, yang disebut pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Video mesum Luna dan Ariel jelas-jelas merupakan pornografi seksual. Tak bisa dibantah. Lalu bagaimana penjelasan tentang Tempo, KPK dan Densus 88 sebagai pelaku “pornografi”? Bukankah mereka tak memiliki video mesum?

Esensi pornografi adalah tayangan yang vulgar/apa adanya dalam bentuk gambar, suara, bunyi dan lain-lain yang dapat membuat orang berhasrat mengikutinya. Pornografi tak harus kita maknai sempit yakni hanya menyangkut seks. Ia juga bisa merambah ke dunia politik, hukum, sosial, jurnalistik, dan sebagainya. Pada titik inilah mengapa, Tempo dkk, KPK dan Densus 88 juga dapat disebut pelaku “pornografi”.

Belakangan ini, media kian terlihat watak aslinya sebagai aktor “pornografi” terutama saat memberitakan PKS. Secara telanjang, mereka memperlihatkan keberpihakannya terhadap kelompok atau golongan tertentu dan disaat bersamaan menunjukkan kebenciannya pada PKS. Mereka juga secara vulgar mempertontonkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar jurnalistik: cover both sides, show it don’t tell it, dan sebagainya.

Dalam running text RCTI diberitakan bahwa kader PKS terlibat penyerangan kantor Koran Tempo. Padahal yang melakukan adalah kelompok lain. Berita tersebut tayang tanpa melakukan check and recheck. Bukankah ini “pornografi” jurnalistik? Begitu juga Metro TV dan TV One yang kerap nyinyir terhadap PKS. Berita LHI yang mereka tayangkan secara jelas menunjukkan bahwa mereka pecinta “pornografi” jurnalistik. Demikian pula halnya dengan Tempo (koran dan majalahnya). Sampai-sampai mereka menurunkan berita utama tentang kredit bermasalah Bank Jabar yg mereka duga melibatkan Ahmad Heryawan, pada hari Ahad, tepat hari pencoblosan pilgub Jabar. Terlihat jelas ketidaksukaan mereka pada PKS. Sekali lagi, bukankah ini “pornografi” jurnalistik?

KPK kian sering mempertontonkan “pornografi” kepada publik. Dimulai dengan penetapan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) sebagai tersangka dugaan suap impor daging sapi. Tanpa tertangkap tangan dan hanya berdasarkan pengakuan Ahmad Fathanah, LHI dijadikan tersangka dan dijemput di kantor DPP PKS lalu ditahan. Ditambah dengan fakta bahwa Andi Mallarangeng belum ditahan meski sudah berstatus tersangka juga dalam kasus Hambalang, maka kasus LHI penuh dengan keanehan.

Dalam perkembangannya, KPK terlihat kesulitan menjerat LHI sebagai tersangka suap karena berbagai saksi dan tersangka yang diperiksa tak mampu memberikan bukti keterlibatan LHI.

Kuasa hukum PT Indoguna Utama Bambang Hartono membantah adanya aliran dana selain Rp 1 miliar yang menjadi barang bukti penyidik KPK.

"Tidak ada (selain yang Rp 1 miliar)," kata Bambang Hartono yang ditemui di KPK, Jakarta, Rabu (27/3). Menurutnya, uang sebesar Rp 1 miliar tersebut pun hanya urusan bisnis antara PT Indoguna Utama dengan Ahmad Fathanah.

Dia menegaskan, uang tersebut tidak ada kaitannya dengan Luthfi Hasan Ishaaq. Selain itu, baik Juard Effendi maupun Arya Abdi Effendi, dua tersangka lainnya yang tertangkap tangan juga mengaku tidak mengenal Luthfi Hasan Ishaaq.

Tapi anehnya, ketrelibatan suap masih belum terbukti, LHI sudah ditetapkan sebagai tersangka TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) oleh KPK. Inilah “pornografi” hukum.

Yang tak kalah menyedihkan, “pornografi” hukum juga dipertontonkan KPK ketika ada pembocoran sprindik Anas Urbaningrum sehingga kemudian dibentuklah komite etik KPK untuk menyelidiki kemungkinan keterlibatan pimpinan KPK.

Densus 88 bahkan sudah lama memproduksi “pornografi”. Kita tentu masih ingat dengan aksi penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 terhadap para tersangka teroris? Dor…dor…dor…Sebuah rumah dikepung dari tujuh penjuru mata angin dan dihujani peluru panas. Kita bisa menonton adegan ini layaknya film Hollywood karena ditayangkan secara live oleh stasiun tv. Terakhir yang bikin heboh adalah aksi kekerasan mereka saat menangkap terduga teroris di Poso dan Palu. Adakah bedanya dengan video mesum? Inilah “pornografi” kekerasan.

Sampai kapan “pornografi” ini berakhir?

Wallahu a’alam.

[http://www.islamedia.web.id/2013/03/republik-pornografi-dari-tempo-hingga.html]

0 Response to "Republik “Pornografi”: Dari Tempo hingga KPK "

Posting Komentar

PKS GO PKS